Kamis, 02 Maret 2017

109- PENGUASA ADIL DAN PENGUASA ZHALIM



PENGUASA ADIL DAN PENGUASA ZHALIM

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata:

“Keadilan yang paling penting bagi penguasa adalah: dimana dia menghukumi di antara manusia dengan Syari’at Allah; karena Syari’at Allah itulah keadilan. Adapun penguasa yang berhukum dengan hukum buatan YANG MENYELISIHI SYARI’AT; maka dia merupakan penguasa yang paling zhalim -wal ‘iyaadzu billaah (kita berlindung kepada Allah)-, dan dia menjadi manusia yang dijauhkan untuk mendapatkan naungan dari Allah; pada hari tidak ada naungan melainkan naungan-Nya.”

[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/643)]

Beliau -rahimahullaah- juga berkata:

“Maka keadilan adalah wajib dalam segala hal [dan wajib atas siapa pun], akan tetapi untuk para penguasa kewajiban tersebut lebih kuat, lebih utama, dan lebih besar. Karena ketidakadilan -jika terjadi pada penguasa-; maka akan terjadi kekacauan dan kebencian terhadap penguasa yang tidak adil.

Akan tetapi SIKAP KITA TERHADAP PENGUASA YANG TIDAK ADIL ADALAH: KITA BERSABAR; bersabar atas kezhalimannya, bersabar atas ketidakadilannya, dan bersabar atas pengutamaan (harta rakyat untuk diri)nya. Sampai-sampai Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan kepada para Shahabat Anshar -radhiyallaahu ‘anhum- dengan bersabda kepada mereka: “Sungguh, sepeninggalku kalian akan mendapati “Atsarah” -yakni: mengutamakan (harta) kalian (untuk dirinya)-; maka bersabarlah kalian sampai kalian menemuiku di telaga.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Hal itu dikarenakan bahwa: dengan menentang penguasa; maka akan mengakibatkan kejelekan dan kerusakan yang lebih besar dibandingkan ketidakadilan dan kezhalimannya. Dan sudah maklum bahwa akal dan syari’at: melarang dari menerjang madharat (kerusakan) yang paling berat di antara dua madharat, dan memerintahkan untuk mengerjakan madharat yang paling ringan di antara dua madharat -jika memang harus melakukan salah satunya-.”

[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/641-642)]

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata dalam “I’laamul Muqaqqi’iin” (hlm. 630- cet. Daaru Thayyibah), “Fasal Tentang “Saddu Adz-Dzaraa-’i (Menutup Jalan Yang Mengantarkan Kepada Kejelekan)”, ketika menyebutkan dalil-dalil yang melarang dari perbuatan yang mengantarkan kepada mafsadat yang lebih kuat; walaupun asal perbuatannya adalah dibolehkan, atau bahkan disunnahkan:

 “Segi (Dalil) Kesembilan Puluh Delapan: Larangan beliau (Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) dari memerangi pemimpin dan (larangan) memberontak melawan penguasa -meskipun mereka tidak adil dan zhalim- selama mereka menegakkan Shalat; hal ini merupakan “Saddu Dzarii’ah” (menutup jalan yang mengarah) kepada kerusakan yang besar dan kejelekan yang banyak -sebagaimana realita yang ada-. Karena sungguh, dengan sebab memerangi dan memberontak melawan mereka; maka terjadi kerusakan yang berlipat ganda dibandingkan sebelumnya, dan umat pun masih merasakan sisa-sisa kejelekan tersebut sampai sekarang.”

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

((خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُـحِبُّوْنَهُمْ وَيُـحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُـبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ)) قِـيْـلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَـلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّـيْـفِ؟ فَقَالَ: ((لَا، مَا أَقَامُوا فِـيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ، وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ))

 “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah: yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, serta kalian mendo’akan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendo’akan kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah: yang kalian benci kepada mereka dan mereka pun benci kepada kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Maka ada yang berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah bagi kami mengangkat pedang untuk melawan mereka? Beliau bersabda: “Tidak! Selama mereka masih Shalat bersama kalian! Jika kalian melihat pemimpin kalian mendatangi suatu hal yang tidak kalian sukai; maka bencilah amalannya, dan janganlah membatalkan bai’at keta’atan.” [HR. Muslim (no. 1855)]

Hasan Al-Bashri (seorang tabi’im, wafat th. 110 H) berkata:

“Demi Allah, seandainya manusia ketika mereka mendapatkan ujian dari arah penguasa mereka: kemudian mereka bersabar; maka tidak akan lama untuk kemudian Allah -‘Azza Wa Jalla- mengangkat (uijian) tersebut dari mereka. Akan tetapi mereka terburu-buru dengan menggunakan pedang; sehingga mereka pun diserahkan (oleh Allah) kepada diri-diri mereka sendiri (Allah tidak menolong mereka-pent). Demi Allah, mereka tidak pernah membawa kebaikan satu hari pun.” Kemudian beliau membaca:

...وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ

“…Dan telah sempurnalah firman Rabb-mu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Isra-il DISEBABKAN KESABARAN MEREKA. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.” (QS. Al-A’raaf: 137)

[Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam “Asy-Syarii’ah” (hlm. 38)]

“Maka kita memohon kepada Allah -Ta’aalaa- agar memudahkan kaum muslimin untuk mendapatkan para penguasa yang adil; yang menghukumi mereka dengan Kitabullah dan dengan Syari’at yang Dia pilihkan untuk hamba-hamba-Nya.”

[“Syarh Riyaadhish Shaalihiin” (III/644), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah-]

-diterjemahkan dari: “Al-Majmuu’ah Al-Hadiitsiyyah” (I/44-47), karya Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar